Selasa, 21 April 2015

adat istiadat kampung naga

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari. Masyarakatnya masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut. Namun, asal mula kampung ini sendiri tidak memiliki titik terang. Tak ada kejelasan sejarah, kapan dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung dengan budaya yang masih kuat ini. Warga kampung Naga sendiri menyebut sejarah kampungnya dengan istilah "Pareum Obor". Pareum jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu mati, gelap. Dan obor itu sendiri berarti penerangan, cahaya, lampu. Jika diterjemahkan secara singkat yaitu, Matinya penerangan. Hal ini berkaitan dengan sejarah kampung naga itu sendiri. Mereka tidak mengetahui asal usul kampungnya. Masyarakat kampung naga menceritakan bahwa hal ini disebabkan oleh terbakarnya arsip/ sejarah mereka pada saat pembakaran kampung naga oleh Organisasi DI/TII Kartosoewiryo. Pada saat itu, DI/TII menginginkan terciptanya negara Islam di Indonesia. Kampung Naga yang saat itu lebih mendukung Soekarno dan kurang simpatik dengan niat Organisasi tersebut. Oleh karena itu, DI/TII yang tidak mendapatkan simpati warga Kampung Naga membumihanguskan perkampungan tersebut pada tahun 1956.

1.2.Rumusan masalah
1.      Apa yang diketahui tentang kampung naga?
2.      Apa saja adat istiadat dan budaya yang ada dikampung naga?

1.3.Tujuan masalah
1.      Menjelaskan tentang kampung naga.
2.      Menjelaskan adat istiadat dan budaya kampung naga.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kampung naga
Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya, dalam hal ini adalah adat Sunda. Seperti permukiman Badui, Kampung Naga menjadi objek kajianantropologi mengenai kehidupan masyarakat pedesaan Sunda pada masa peralihan dari pengaruh Hindu menuju pengaruh Islam di Jawa Barat. Kampung Naga juga merupakan salah satu dari kampung yang masih memegang tradisi dan adat istiadat leluhur, namun bisa hidup berdampingan dengan kehidupan masyarakat lain yang lebih modern. Kampung Naga memang memiliki keunikan tersendiri. Melihat dari dekat kehidupan sederhana dan bersahaja yang masih tetap lestari di tengah peradaban modern. Kampung naga merupakan salah satu kampung adat dari sekian kampung-kampung adat yang ada di Jawa barat dan masih tetap melestarikan kebudayaan dan adat leluhurnya. Kampung Naga sendiri terletak di Desa Neglasari Kecamatan Salawu kabupaten Tasikmalaya yang tepatnya berada di antar jalan raya yang menghubungkan antara daerah Garut dengan Tasikmalaya dan berada tepat di sebuah lembah yang subur yang dilalui oleh sebuah sungai bernama sungai Ciwulan yang bermata air di Gunung Cikuray Garut. Jarak dari Kampung Naga ke kota Tasikmalaya sendiri sekitar 30 km. untuk mencapai kampung Naga yang penduduknya memeluk agama Islam ini harus melalui medan jalan yang lumayan terjal yakni harus menuruni anak tangga hingga sungai Ciwulan dengan kemiringan tanah sekitar 45 derajat.



2.2.Adat istiadat dan budaya kampung naga
Setiap Kampung, Desa, Negara,bahkan dalam satu kepala keluarga mempunyai budaya dan adat yang digunakan untuk mengikat anggotanya agar tetap mematuhi peraturan dan hidup berada sesuai jalan yang benar sesuai dengan norma yang berlaku. Kampung Naga yang beretnis sunda memang mempunyai beberapa kesamaan dengan adat istiadat orang sunda di tempat lain seperti menghormati dan mendahului apa yang dikatakan seorang Ayah, makan lesehan, menggunakan bahasa sunda yang halus dalam percakapan lintas generasi. Beberapa yang berbeda di kampung naga seperti Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari. Masyarakatnya masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut. Namun, asal mula kampung ini sendiri tidak memiliki titik terang. Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.
A.    Sejarah kampung naga 
Sejenak mungkin terlintas dalam pikiran kita, barangkali ketika mendengar nama Kampung Naga. Ternyata bentuk asli dari kampung tersebut sangat berbeda dengan namanya, dan gambaran kita tentang hal-hal yang berbau naga, karena tak satupun naga yang berada di sana. Nama Kampung Naga tu sendiri ternyata merupakan suatu singkatan kata dari Kampung diNa Gawir ( red. bahasa sunda ) yang artinya adalah merupakan kampung yang berada di lembah yang subur. Kampung Naga adalah  sebuah kampung kecil, yang para penduduknya patuh dan menjaga tradisi yang ada, hal inilah yang membuat kampung ini unik dan berbeda dengan yang lain. Tak salah jika kampung ini menjadi salah satu warisan budaya Bangsa Indonesia yang patut dilestarikan.
Nenek moyang Kampung Naga Sendiri konon adalah Eyang Singaparna yang makamnya sendiri terletak di sebuah hutan di sebelah barat Kampung Naga. Yang membuat Kampung Naga ini unik adalah karena penduduk ini seperti tidak terpengaruh dengan modernitas dan masih tetap memegang teguh adat istiadat yang secara turun temurun. Kepatuhan warga Sanaga ( red. Warga asli kampung Naga ) dalam mempertahankan upacara – upacara adat, termasuk juga pola hidup mereka yang tetap selaras dengan adapt leluhurnya seperti dalam hal religi da upacara, mata pencaharian, pengetahuan, kesenian, bahasa dan tata cara leluhurnya. Masyarakat Kampung Naga memilki tempat-tempat larangan yaitu : 2 hutan larangan, sebelah Timur dan Barat, tempat ini tidak boleh dimasuki oleh seorangpun kecuali pada waktu upacara atau berziarah. Ada satu buah bangunan yang dianggap keramat yaitu “Bumi Ageung” yaitu tempat pelaksanaan rutinitas upacara adat, tempat ini tidak boleh dimasuki kecuali oleh Ketua Adat atau Kuncen. Hari yang diagungkan masyarakat Kampung Naga diantaranya hari Selasa, Rabu dan Sabtu.Pada hari itu masyarakat dilarang untuk menceritakan asal usul atau sejarah mengenai Kampung Naga dan  pada bulan Syafar tidak boleh melaksanakan upacara adat atau berziarah. Dalam pembangunan rumah-rumah diatur sedemikian rupa yaitu dengan membujur Timur Barat menghadap ke Selatan, setiap rumah harus saling berhadapan untuk menjaga kerukunan antar warga. Praktek pembangunannya pun mempunyai wawasan lingkungan yang futuristik, baik secara fisik, sosial, ekonomi maupun budaya.
B.     Kepemimpinan Kepala Desa
Di kampung Naga sendiri memiliki dua kepemimpinan, yaitu kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal. Kepemimpinan formal berdasarkan pemilihan rakyat dan disahkan oleh pemerintah yaitu ketua RT dan ketua RW.  Sedangkan kepemimpinan informal yaitu kepala adat atau yang biasa disebut dengan “kuncen” yang bertugas sebagai pemangku adat dan pemimpin upacara-upacara adat. Kuncen adalah seseorang yang mempunyai pengetahuan yang luas dan dipandang sebagai pengemban amanat leluhur kampung Naga sehingga perkataan dan nasihatnya selalu dipatuhi oleh warga kampung. Saat ini kuncen kampung Naga dijabat oleh Bapak Ade Suherlin. Dibawah kuncen, ada para pejabat adat yang membantu kuncen dalam menjalankan tugasnya, yaitu “Punduh” yang dijabat oleh Bapak Ma’mun yang mengurus dan menjadi pengayom segala kegiatan kegiatan kemasyarakatan dan ”Lebeh” yang dijabat oleh Bapak Ateng yang bertugas dalam masalah keagamaan seperti mengurus jenazah dari awal sampai akhir sesuai dengan syariat Islam.
Dua kepemimpinan yang ada di Kampung Naga ini saling berhubungan dan saling melengkapi.  Di satu sisi ketua RT dan RW mengurus dan mengatur sistem pemerintahan seperti birokrasi publik, dan yang lainnya yang harus dipatuhi oleh seluruh warga, tanpa terkecuali Kuncen. Dan di sisi lain seluruh warga kampung Naga termasuk pejabat pemerintahan dalam hal ini ketua RT dan RW juga harus patuh pada hukum adat dan peraturan-peraturan yang telah dijalankan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka. Dalam kehidupan masyarakat Kampung Naga sendiri, pemimpin menduduki posisi yang penting, oleh karena ia dianggap orang serba tahu dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakat adat. Sehingga segala tindak-tanduknya merupakan pola aturan patut diteladani oleh masyarakat. Mengingat kedudukan yang penting itulah pemimpin adat senantiasa dituntut berpartisipasi dalam pembinaan kesadaran hukum masyarakat adat.
C.       Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama masyarakat di Kampung Naga adalah bertani, hal ini dapat dilihat disekitar kampung Naga banyak dijumpai hamparan persawahan. Panen di kampung Naga sendiri dilaksanakan setahun 2 kali. Selain bertani, mereka juga membuat kerajinan yang akan dijual kepada para pengunjung, dan beternak kambing. Sebagai penduduk yang mayoritasnya bekerja sebagai petani, cara-cara penggunaan dan pengelolaannya pun masih dilakukan dengan cara-cara yang tradisional pula. Seperti penggunaan pupuk, warga di Kampung Naga lebih suka memakai pupuk kandang dari kotoran sapi maupun kambing yang mereka pelihara daripada menggunakan pupuk urea maupun pupuk yang mengandung bahan kimia lain. Penggunaan pupuk yang mengandung bahan kimia dikhawatirkan akan merusak produktivitas tanah dan mereka tidak menyesal walaupun dengan menggunakan pupuk kandang panen hanya terjadi dua kali dalam setahun. Demikian juga dalam hal pembajakan sawah, mereka lebih suka menggunakan kerbau untuk membajak sawah daripada menggunakan traktor meskipun memakan waktu dan tenaga yang agak lebih lama. Meskipun masih menggunakan cara-cara yang tradisional dalam pengerjaannya, tetapi padi yang dihasilkan memiliki kualitas yang sangat bagus dan hal ini juga sebagai penunjukkan rasa hormat warga kampung Naga kepada alamnya.
Selain bekerja sebagai petani, warga di kampung Naga juga ada beberapa yang pergi merantau ke kota untuk bekerja seperti ke Jakarta. Mereka biasanya akan kembali ke kampung Naga setelah merantau beberapa tahun atau ketika perayaan hari-hari besar di kampung Naga seperti Hari Raya Idul Fitri dan Upacara Hajat Sasih. 
D.    Upacara Adat di Kampung Naga
Upacara-upacara yang senantiasa dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga ialah Upacara Menyepi, Upacara Hajat Sasih, dan Upacara Perkawinan.

Ø  Menyepi

Upacara menyepi dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada hari selasa, rabu, dan hari sabtu. Upacara ini menurut pandangan masyarakat Kampung Naga sangat penting dan wajib dilaksanakan, tanpa kecuali baik laki-laki maupun perempuan. Oleh sebab itu jika ada upacara tersebut di undurkan atau dipercepat waktu pelaksanaannya. Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-masing orang, karena pada dasarnya merupakan usaha menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat. Melihat kepatuhan warga Naga terhadap aturan adat, selain karena penghormatan kepada leluhurnya juga untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila dilanggar dikuatirkan akan menimbulkan malapetaka.

Ø  Hajat Sasih

Upacara Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Sa-Naga, baik yang bertempat tinggal di Kampung Naga maupun di luar Kampung Naga. Maksud dan tujuan dari upacara ini adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, Eyang Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan yang mahaesa atas segala nikmat yang telah diberikannya kepada warga sebagai umat-Nya.

Upacara Hajat Sasih diselenggarakan pada bulan-bulan dengan tanggal-tanggal sebagai berikut:
  1. Bulan Muharam (Muharram) pada tanggal 26, 27, 28
  2. Bulan Maulud (Rabiul Awal) pada tanggal 12, 13, 14
  3. Bulan Rewah (Sya'ban) pada tanggal 16, 17, 18
  4. Bulan Syawal (Syawal) pada tanggal 14, 15, 16
  5. Bulan Rayagung (Dzulkaidah) pada tanggal 10, 11, 12
Pemilihan tanggal dan bulan untuk pelaksanaan upacara Hajat Sasih sengaja dilakukan bertepatan dengan hari-hari besar agama Islam. Penyesuaian waktu tersebut bertujuan agar keduanya dapat dilaksanakan sekaligus, sehingga ketentuan adat dan akidah agama islam dapat dijalankan secara harmonis.
Upacara Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam. Sebelumnya para peserta upacara harus melaksanakan beberapa tahap upacara. Mereka harus mandi dan membersihkan diri dari segala kotoran di sungai Ciwulan. Upacara ini disebut beberesih atau susuci. Selesai mandi mereka berwudlu di tempat itu juga kemudian mengenakan pakaian khusus. Secara teratur mereka berjalan menuju mesjid. Sebelum masuk mereka mencuci kaki terlabih dahulu dan masuk kedalam sembari menganggukan kepala dan mengangkat kedua belah tangan. Hal itu dilakukan sebagai tanda penghormatan dan merendahkan diri, karena mesjid merupakantempat beribadah dan suci. Kemudian masing-masing mengambil sapu lidi yang telah tersedia di sana dan duduk sambil memegang sapu lidi tersebut.
Adapun kuncen, lebe, dan punduh / Tua kampung selesai mandi kemudian berwudlu dan mengenakan pakaian upacara mereka tidak menuju ke mesjid, melainkan ke Bumi Ageung. Di Bumi Ageung ini mereka menyiapkan lamareun dan parukuyan untuk nanti di bawa ke makam. Setelah siap kemudian mereka keluar. Lebe membawa lamareun dan punduh membawa parukuyan menuju makam. Para peserta yang berada di dalam mesjid keluar dan mengikuti kuncen, lebe, dan punduh satu persatu. Mereka berjalan beriringan sambil masing-masing membawa sapu lidi. Ketika melewati pintu gerbang makam yang di tandai oleh batu besar, masing-masing peserta menundukan kepala sebagai penghormatan kepada makam Eyang Singaparna. Setibanya di makam selain kuncen tidak ada yang masuk ke dalamnya. Adapun Lebe dan Punduh setelah menyerahkan lamareun dan parakuyan kepada kuncen kemudian keluar lagi tinggal bersama para peserta upacara yang lain. Kuncen membakar kemenyan untuk unjuk-unjuk (meminta izin ) kepada Eyang Singaparna. Ia melakukan unjuk-unjuk sambil menghadap kesebelah barat, kearah makam. Arah barat artinya menunjuk ke arah kiblat. Setelah kuncen melakukan unjuk-unjuk, kemudian ia mempersilahkan para peserta memulai membersihkan makam keramat bersama-sama. Setelah membersihkan makam, kuncen dan para peserta duduk bersila mengelilingi makam. Masing-masing berdoa dalam hati untukmemohon keselamatan, kesejahteraan, dan kehendak masing-masing peserta. Setelah itu kuncen mempersilakan Lebe untuk memimpin pembacaan ayat-ayat Suci Al-Quran dan diakhri dengan doa bersama. Selesai berdoa, para peserta secara bergiliran bersalaman dengan kuncen. Mereka menghampiri kuncen dengan cara berjalan ngengsod. Setelah bersalaman para peserta keluar dari makam, diikuti oleh punduh, lebe dan kuncen. Parukuyan dan sapu lidi disimpan di "para" mesjid. Sebelum disimpan sapu lidi tersebut dicuci oleh masing-masing peserta upacara di sungai Ciwulan, sedangkan lemareun disimpan diBumi Ageung. Acara selnjutnya diadakan di mesjid. Setelah para peserta upacara masuk dan duduk di dalam mesjid, kemudian datanglah seorang wanita yang disebut patunggon sambil membawa air di dalam kendi, kemudian memberikannya kepada kuncen. Wanita lain datang membawa nasi tumpeng dan meletakannya ditengah-tengah. Setelah wanita tersebut keluar, barulah kuncen berkumur-kumur dengan air kendi dan membakar dengan kemenyan. Ia mengucapkan Ijab kabul sebagai pembukaan. Selanjutnya lebe membacakan doanya setelah ia berkumur-kumur terlebih dahulu dengan air yang sama dari kendi. Pembacaan doa diakhiri dengan ucapan amin dan pembacaan Al-fatihah. Maka berakhirlah pesta upacara Hajat Sasih tersebut. Usai upacara dilanjutkan dengan makan nasi tumpeng bersama-sama. Nasi tumpeng ini ada yang langsung dimakan di mesjid, ada pula yang dibawa pulang kerumah untuk dimakan bersama keluarga mereka.
E.     Pernikahan
Untuk pernikahan, warga kampung naga boleh untuk memilih jodoh di luar penduduk kampung naga tetapi, jika ingin mengadakan pesta di kampung naga, tidak boleh memberikan kartu undangan, mengundang harus disampaikan secara lisan baik oleh mampelai maupun kerabat mempelai. Dan jika ingin mengadakan pesta di luar kampung naga barulah boleh menyebar undangan. Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah upacara yang dilakukan setelah selesainya akad nikah. adapun tahap-tahap upacara tersebut adalah sebagai berikut:upacara sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngamparmunjungan (berhamparan), dan diakhiri dengan Upacara sawer dilakukan selesai akad nikah, pasangan pengantin dibawa ketempat panyaweran, tepat di muka pintu. mereka dipayungi dan tukang sawer berdiri di hadapan kedua pengantin. panyawer mengucapkan ijab kabul, dilanjutkan dengan melantunkan syair sawer. ketika melantunkan syair sawer, penyawer menyelinginya dengan menaburkan beras, irisan kunir, dan uang logam ke arah pengantin. Anak-anak yang bergerombol di belakang pengantin saling berebut memungut uang sawer. isi syair sawer berupa nasihat kepada pasangan pengantin baru. Usai upacara sawer dilanjutkan dengan upacara nincak endog. endog (telur) disimpan di atas golodog dan mempelai laki-laki menginjaknya. Kemudian mempelai perempuan mencuci kaki mempelai laki-laki dengan air kendi. Setelah itu mempelai perempuan masuk ke dalam rumah, sedangkan mempelai laki-laki berdiri di muka pintu untuk melaksanakan upacara buka pintu. Dalam upacara buka pintu terjadi tanya jawab antara kedua mempelai yang diwakili oleh masing-masing pendampingnya dengan cara dilagukan. Sebagai pembuka mempelai laki-laki mengucapkan salam 'Assalammu'alaikum Wr. Wb.' yang kemudian dijawab oleh mempelai perempuan 'Wassalamu'alaikum Wr. Wb.' setelah tanya jawab selesai pintu pun dibuka dan selesailah upacara buka pintu. Setelah upacara buka pintu dilaksanakan, dilanjutkan dengan upacara ngampar, dan munjungan. Ketiga upacara terakhir ini hanya ada di masyarakat Kampung Naga. Upacara riungan adalah upacara yang hanya dihadiri oleh orang tua kedua mempelai, kerabat dekat, sesepuh, dan kuncen. Adapun kedua mempelai duduk berhadapan, setelah semua peserta hadir, kasur yang akan dipakai pengantin diletakan di depan kuncen. Kuncen mengucapakan kata-kata pembukaan dilanjutkan dengan pembacaan doa sambil membakar kemenyan. Kasur kemudian di angkat oleh beberapa orang tepat diatas asap kemenyan. Usai acara tersebut dilanjutkan dengan acara munjungan. kedua mempelai bersujud sungkem kepada kedua orang tua mereka, sesepuh, kerabat dekat, dan kuncen. Akhirnya selesailah rangkaian upacara perkawinan di atas. Sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada para undangan, tuan rumah membagikan makanan kepada mereka. Masing-masing mendapatkan boboko (bakul) yang berisi nasi dengan lauk pauknya dan rigen yang berisi opak, wajit, rengginang, dan pisang. Beberapa hari setelah perkawinan, kedua mempelai wajib berkunjung kepada saudara-saudaranya, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Maksudnya untuk menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan mereka selama acara perkawinan yang telah lalu. Biasanya sambil berkunjung kedua mempelai membawa nasi dengan lauk pauknya. Usai beramah tamah, ketika kedua mempelai berpamitan akan pulang, maka pihak keluarga yang dikunjungi memberikan hadiah seperti peralatan untuk keperluan rumah tangga mereka.
F.     Warisan
Tidak ada perbedaan jumlah antara laki-laki maupun wanita, semuanya sama saja dan dibagi dengan rata. Pada umumnya masyarakat untuk lelaki mendapatkan jatah warisan lebih banyak, di aturan Kampung Naga bisa jadi warisan untuk Wanita lebih banyak karena Lelaki dinilai bisa hidup lebih mandiri dalam mencari nafkah.
G.    Peralatan Hidup Masyarakat Kampung Naga
Masyarakat Kampung Naga merupakan masyarakat yang masih menggunakan peralatan ataupun perlengakpan hidup yang sederhana, non teknologi yang kesemua bahannya tersedia di alam. Seperti untuk memasak, masyarakat Sanaga menggunakan tungku dengan bahan bakar menggunakan kayu bakar dan untuk membajak sawah mereka tidak menggunkan traktor melainkan menggunakan cangkul. Dan masih banyak hal lainnya, yang pasti masayarakat Sanaga tidak menggunakan peralatan canggih berteknologi tinggi, dan kampung mereka pun tidak ada listrik.
H.    Sistem Perekonomian Masyarakat Kampung Naga
Dalam sistem perekonomian kami fokuskan kepada mata pencaharian dimana mata pencaharian warga Kampung Naga bermacam-macam mulai dari pokok yaitu bertani, menanam padi sedangkan mata pencaharian sampingannya adalah membuat kerajinan, beternak dan berdagang.
I.       Sistem Kemasyarakatan
Kemasyarakatan di Kampung Naga masih sangat lekat dengan budaya gotong royong, hormat menghormati, dan mengutamakan kepentingan golongan diatas kepentingan pribadi. Lebih jauh menilik pola hidup dan kepemimpinan Kampung Naga, kita akan mendapatkan dua pemimpin dengan tugasnya masing –masing yaitu pemerintahan desa dan pemimpin adat atau yang oleh masyarakat Kampung Naga disebut Kuncen. Peran keduanya saling bersinergi satu sama lain untuk tujuan keharmonisan warga Sanaga. Sang Kuncen yang meski begitu berkuasa dalam hal adapt istiadat jika berhubungan dengan system pemerintahan desa maka harus taat dan patuh pada RT atau RW, begitupun sebaliknya RT atau RW haruslah taat pada sang Kuncen apabila berurusan dengan adapt istiadat dan kehidupan rohani penduduk Kampung Naga.
Ø  Lembaga Pemerintahan
Sistem kemasyarakatan disini lebih terfokus kepada sistem atau lembaga-lembaga pemerintahan yang ada di Kampung Naga. Ada dua lembaga yaitu :
  • Lembaga Pemerintahan
  • RT
  • RK / RW
  • Kudus ( Kepala Dusun )
Ø  Lembaga Adat
  • Kuncen dijabat oleh Bapak Ade Suherlin yang bertugas sebagai pemangku adat dan memimpin upacara adat dalam berziarah.
  • Punduh dijabat oleh Bapak Ma’mun
  • Lebe dijabat oleh Bapak Ateng yang bertugas mengurusi jenazah dari awal sampai akhir sesuai dengan syariat Islam.
J.      Sistem Bahasa
Dalam berkomunikasi warga Kampung Naga mayoritas menggunakan bahasa Sunda Asli, hanya sebagian orang dalam arti yang duduk di pemerintahan. Adapula yang bisa berbahasa Indonesia itupun hanya digunakan apabila bercakap – cakap dengan wisatawan dari luar jawa barat.


K.    Sistem Pendidikan ( Ilmu Pengetahuan )
Tingkat Pendidikan masyarakat Kampung Naga mayoritas hanya mencapai jenjang pendidikan sekolah dasar, tapi adapula yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi itupun hanya minoritas. Kebanyakan pola pikirnya masih pendek sehingga mereka pikir bahwa buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya pulang kampung juga. Dari anggapan tersebut orang tua menganggap lebih baik belajar dari pengalaman dan dari alam atau kumpulan-kumpulan yang biasa dilakukan di mesjid atau aula.
L.     Sistem Kepercayaan ( Religi )
Penduduk Kampung Naga Mengaku mayoritas adalah pemeluk agama islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka. Masyarakat Sanaga pun masih mempercayai akan takhayul mengenai adannya makhluk gaib yang mengisi tempat – tempat tertentu yang dianggap angker. Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam (“leuwi”). Kemudian “ririwa” yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari, ada pula yang disebut “kunti anak” yaitu mahluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, ia suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan. Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atau sanget. Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah Eyanf singaparna, Bumi Ageung dan masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga
 Adapun upacara – upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Sanaga yang bertepatan dengan hari besar Islam yaitu :
  • Bulan Muharam untuk menyambut datangnya Tahun Baru Hijriah
  • Bulan Maulud untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW
  • Bulan Jumadil Akhir untuk memperingati pertengahan bulan Hijriah
  • Bulan Nisfu Sya’ban untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan
  • Bulan Syawal untuk menyambut datangnya Idul Fitri
  • Bulan Zulhijah untuk menyambut datangnya Idul Adha
M.   Kesenian
Di bidang kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu mengadakan pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, dangdut, pencak silat, dan kesenian yang lain yang mempergunakan waditra goong. Sedangkan kesenian yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Kesenian beluk kini sudah jarang dilakukan, sedangkan kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh kalangan generasi muda. Namun bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak menonton kesenian wayangpencak silat, dan sebagainya diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan di luar wilayah kampung naga.
Terdapat tiga pasangan kesenian di Kampung Naga diantaranya :
  • Terebang Gembrung yang dimainkan oleh dua orang sampai tidak terbatas biasanya ini dilaksanakan pada waktu Takbiran Idul Fitri dan Idul Adha serta kemerdekaan RI. Alat ini terbuat dari kayu.
  • Terebang Sejat, dimainkan oleh 6 orang dan dilaksanakan pada waktu upacara pernikahan atau khitanan massal.
  • Angklung, dimainkan oleh 15 orang dan dilaksanakan pada waktu khitanan massal
N.    Sistem Bangunan /Arsitek
Bangunan-bangunan yang ada di Kampung Naga berbentuk segitiga semuanya beratap ijuk, dan menghadap ke arah kiblat, terdapat kurang lebih 113 bangunan dalam area 1,5 ha yang terdiri dari 110 rumah warga dan 1 tempat ibadah, selain itu juga terdapat balai pertemuan dan lumbung padi (Leuit) dan Bumi Ageung yang kesemua bahan bangunannya menggunakan bilik-bilik, kayu-kayu, dan lain-lain. Tidak menggunakan semen atau pasir. Semua bentuk, ukuran, alat dan bahan bangunan semuanya sama hal ini menunjukkan adanya keseimbangan dan keselarasan yang ada di daerah tersebut. Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong). Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.
O.    Sistem Politik
Dalam sistem politik di tekankan pada penyelesaian masalah di pimpin oleh  ketua adat yaitu dengan cara bermusyawarah untuk mufakat dimana hasi yang diperoleh adalah merupakan hasil mufakat yang demokratis dan terbuka.


P.     Sistem Hukum
Seperti kebanyakan kampung adat lainnya, masyarakat Sanaga juga memiliki aturan hukum sendiri yang  tak tertulis namun masyarakat sangat patuh akan keberadaan aturan tersebut. Kampung Naga memang memiliki Larangan namun tidak memiliki banyak aturan. Prinsip yang mereka anut adalah Larangan, Wasiat dan Akibat. Sistem hukum di kampung Naga hanya berlandaskan kepada kata pamali, yakni sesuatu ketentuan yang telah di tentukan oleh nenek moyang Kampung Naga yang tidak boleh di langgar. Sanksi untuk pelanggaran yang dilakukan tidaklah jelas, mungkin hanyalah berupa teguran, karena masyarakat Sanaga memegang prinsip bahwa siapa yang melakukan pelanggaran maka dia sendiri yang akan menerima akibatnya. Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya.pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah,pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.
Ø  Aturan-Aturan Yang Diatur Oleh Hukum Adat di Kampung Naga
Peraturan-peraturan adat yang berlaku di kampung Naga meliputi segala aspek kehidupan masyarakatnya dari “A” sampai “Z”, mulai dari cara membangun rumah, tata cara perkawinan, dan masih banyak lagi peraturan adat yang ada di kampung Naga dari hal-hal yang kecil sampai kepada hal yang besar. Hal-hal yang kecil dapat dicontohkan sebagai berikut:
1.      “ Temenang Diuk Dina Bangbaru”
Artinya: Anak gadis tidak boleh duduk di depan pintu.
2.      “ Ngahocat, Suit-suitan”
Artinya : bersiul.
3.      “ Cimalati, Curung Cinantang ”
Artinya : air terjun angker, yang dihuni makhluk halus.
4.      “ Temenang Ngelonjor Kakulon "
Artinya : tidak boleh duduk berselonjor kearah kiblat (barat).
5.      “ Leweng Karamat “
Artinya : Jiarah ke makam pada hari selasa, rabu, dan sabtu.
6.      “ Leweng Ketupan “
Artinya : berkunjung ke hutan lindung.
7.      “ Bumi Ageng “
Artinya : tempat upacara adat.
8.      “ Pego dan tabu tentang asal usul kampung”
Artinya : bisu sementara menjelaskan tentang asal usul kampung pada hari selasa, rabu, dan sabtu.
9.      “ Sawen “
Artinya : Tolak Bala
10.  “ Ngadu, Ngahadon, Mabokan “
Artinya : adu domba, main perempuan, dan narkoba.

Warga kampung Naga juga dilarang untuk menebang pohon atau merusak hutan yang ada di sekitar kampung Naga, karena hutan disekitar kampung Naga tersebut dianggap sebagai hutan keramat yang tidak boleh diganggu keberadaannya, walaupun hanya mematah ranting apalagi sampai menebangnya. Selain itu warga dan pendatang juga dilarang untuk mandi di dua buah air terjun yang di anggap sebagai tempat keramat karena biasanya air terjun tersebut kadang digunakan sebagai tempat bersemedi atau dimana di yakini oleh warga kampung naga sebagai air terjun yang memiliki fungsi untuk menyembuhkan penyakit namun air tersebut tidak boleh diambil warga secara sembarangan hanya apabila warga tersebut mendapatkan mimpi bahwa cara penyembuhannya dengan mengambil air dari salah satu air terjun tersebut barulah di perbolehkan itupun harus meminta izin terlebih dahulu kepada kepala adat atau juru kuncinya serta ada hal yang harus di patuhi pada saat mengambil air terjun tersebut yakni hanya sebelah kaki yang harus menginjaknya dan harus memakai kaki sebelah kanan.


Ø  Pelaksanaan Hukum Adat di Kampung Naga
Dalam pelaksanaan hukum adat pada masyarakat Kampung Naga, mereka sangat mentaati aturan-aturan yang telah ditetapkan. Ketaatan mereka tersebut sangat kuat dan patuh, yang dapat dilihat dari pelaksanaan kehidupan sehari-hari di lingkungan mereka yang masih menerapkan tabu atau pamali. Hanya dengan kata “PAMALI” masyarakat kampung Naga dapat hidup dengan nilai-nilai tradisional dan terjaga kelestarian lingkungannya. Pamali merupakan tradisi lisan dari masyarakat Sunda, yaitu berhubungan dengan hal-hal yang tabu atau hal yang tidak baik untuk dilakukan. Larangan-larangan yang ada di kampung Naga berasal dari  aturan-aturan nenek moyang mereka terdahulu. Aturan-aturan yang ada di kampung Naga sendiri hanya disampaikan secara lisan kepada warganya, tidak ada aturan adat yang dibukukan atau dikumpulkan secara tertulis, dan hal ini disampaikan secara turun-temurun. Seorang anak di kampung Naga sejak kecil sudah diajari mengenai hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan, sehingga sejak kecil mereka sudah tertanam nilai-nilai luhur dari nenek moyang mereka sehingga hal tersebut dapat bertahan sampai sekarang. Meskipun tidak ada peraturan secara tertulis, tetapi bagi warga di kampung Naga mentaati peraturan-peraturan tersebut adalah suatu keharusan dan menganggap bahwa peraturan tersebut adalah sesuatu yang sakral dan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Pelaksanaan aturan pamali tersebut dimulai oleh tokoh masyarakat dalam membina warganya dengan memberikan contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari, dan memberikan sanksi  kepada anggota masyarakat secara bertahap. Tokoh masyarakat yang dimaksud adalah berawal dari pemimpin Kampung Naga yang dipilih melalui ketentuan adat yaitu kuncen. Sebagai seorang yang dituakan perkataan kuncen sangat didengar dan dipatuhi oleh masyarakat Kampung Naga. Kuncen memiliki hak khusus dalam menerima tamu dan member petunjuk-petunjuk khusus dalam kehidupan adat-istiadat di Kampung Naga.
Kepatuhan masyarakat pada kuncen karena ia merupakan pengemban amanat leluhur, sehingga apa yang ia ucapkan akan dipatuhi termasuk larangan untuk tidak membicarakan sejarah, asal usul Kampung Naga dan tradisi pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu.

Ø  Sanksi Dalam Penerapan Hukum Adat di Kampung Naga
Perbuatan melanggar hukum adat menimbulkan reaksi tertentu yaitu suatu kewajiban yang di bebankan kepada orang yan menimbulkan gangguan terhadap keseimbangan atau orang yang menyerang diri atau barang kepunyaan orang lain kewjiban itu dapat berupa harus membayar kembali dengan uang atau dengan barang suatu kerugian yang telah di timbulkannya, atau berupa kewajiban untuk melakukan suatu upacara dan kalau yang di bebankan berupa harus melakukan suatu upacara dalam upacara itu pelanggar harus menyatakan minta maaf kepada pihak yang kepentingannya telah di langgar maksudnya ialah untuk mengembalikan keseimbangan yang sudah terganggu kedalam keadaan semula.
Dalam menjalankan aturan adat “pamali” di Kampung Naga, masyarakat disana sangat taat dan patuh pada aturan yang telah turun temurun dari para leluhur. Namun, para tokoh masyarakat di Kampung Naga tetap memiliki sanksi bagi para masyarakat yang melanggar pamali yang telah ditetapkan. Bila salah satu masyarakat Kampung Naga ada yang melanggar salah satu adat “pamali” (yang dilarang) seperti upacara menyepi/ hari tabu, upacara perkawinan, upacara hajat sasih, maka tindakan yang dilakukan oleh Kuncen adalah yang pertama menegurnya, dan yang kedua memberikan surat yang isinya menyurus keluar/pindah dari Kampung Naga untuk selama-lamanya dan sampai kapanpun tidak bisa mengikuti upacara adat Kampung Naga.




BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa ternyata keberadaan Kampung Naga selain menarik karena keunikan kebudayaan masyarakatnya, namun juga ternyata dapat menjadi icon bagi masyarakat Kampung Naga Khususnya dan bagi masyarakat Jawa Barat umumnya bahwa primitifitas atau adat istiadat asli peninggalan nenek moyang itu harusnya bisa menjadi treadceneter dan suatu kebanggan bagi kita yang mewarisinya karena bisa menjadi daya tarik bagi turis lokal maupun dari luar negri untuk di adikan bahan observasi.
3.2. Saran
Demikianlah penulisan makalah kami, apabila masih terdapat kesalahan atau kekurangan dalam pembahasan makalah kami ini, terutamanya kami mohon maaf yang sebesar – besarnya dan kami juga harapkan teguran yang sehat sekiranya dapat membangun dalam perbaikan pembuatan makalah kami ini.








DAFTAR ISI

·         Diakses tanggal 21-03-2015
http://id.wikipedia.org/wiki/Kampung_Naga ( Pengertian kampung naga )
·         Diakses tanggal 21-03-2015
·         Diakses tanggal 21-03-2015
http://www.kalangsunda.net/kampungnaga.htm ( Adat istiadat dan budaya kampung naga )
·         Diakses tanggal 21-03-2015









                                                                         





Tidak ada komentar:

Posting Komentar