Senin, 16 Maret 2015

prilaku dan pribadi anak usia sekolah dasar

PERILAKU DAN PRIBADI ANAK USIA SEKOLAH DASAR
Trias Dini Apriliana dan Leni Agustini

ABSTRAK
            Usia anak sekolah dasar adalah anak yang memiliki umur 6 sampai 12 tahun yang masih duduk di sekolah dasar dari kelas 1 sampai kelas 6 dan perkembangan sesuai usianya. Kepribadian merupakan susunan sistem-sistem psikofisik yang dinamai dalam diri suatu individu yang menentukan penyesuaian individu yang unik terhadap lingkungan. Adanya perubahan dalam kepribadian menekankan bahwa perubahan dapat terjadi dalam kualitas perilaku seseorang. “Susunan” mengandung arti bahwa kepribadian tidak di bangun dari berbagai ciri yang satu ditambahkan pada yang lain begitu saja, melainkan ciri-ciri ini saling berkaitan. Beberapa ciri bertambah menjadi dominan dan yang lain berkurang, sejalan dengan perubahan yang terjadi pada anak dan dalam lingkungan. Perilaku merupakan perbuatan/tindakan dan perkataan seseorang yang sifatnya dapat diamati, digambarkan dan dicatat oleh orang lain ataupun orang yang melakukannya. Perilaku diatur oleh prinsip dasar perilaku yang menjelaskan bahwa ada hubungan antara perilaku manusia dengan peristiwa lingkungan. Perubahan perilaku dapat diciptakan dengan merubah peristiwa didalam lingkungan yang menyebabkan perilaku tersebut. Kepribadian dan perilaku anak usia sekolah dasar masih dapat dirubah, adapun struktur kepribadian ialah pribadi itu selalu ada dalam lingkungannya dan tidak dapat dilepaskan dari lingkungannya. Orang tua harus ikut berperan aktif dalam pembentukan perkembangan perilaku dan kepribadian anak baik di lingkungan rumah maupun di luar rumah.

Kata Kunci : Perilaku, pribadi dan anak usia sekolah dasar.







PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Psikologi memandang perilaku manusia (Human Behavior) sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks. Sikap selalau dikaitkan dengan perilaku yang berada dalam batas kewajaran dan kenormalan yang merupakan respons atau reaksi terhadap stimulus lingkungan sosial.
Salah satu karakteristik reaksi perilaku manusia yang menarik adalah sifat diferensialnya. Maksudnya, satu stimulus dapat menimbulkan lebih dari satu respon yang berbeda dan beberapa stimulus yang berbeda dapat saja menimbulkan satu respon yang sama. Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. (Drs. Saifuddin, MA, 2005).
Psikologi kepribadian adalah termasuk psikologi khusus, yang membahas tentang kehidupan seseorang sebagai pribadi, yang merupakan segi lain daripada segi sosial manusia. Sesuai dengan kedudukannya itu, maka psikologi kepribadian dapat dirumuskan sebagai : psikologi yang khusus membahas kepribadian utuh, artinya yang dipelajari adalah seluruh pribadinya, bukan hanya pikirannya, perasaannya, dan sebagainya, melainkan secara keseluruhannya, sebagai paduan antara kehidupan jasmani dan rohani usia anak di sekolah dasar. Psikologi kepribadian yang berobyek kepada faktor pribadi, secara teoritis, masih dapat berubah.
B.       Rumusan Masalah
1.         Apa yang dimaksud dengan perilaku?
2.         Apa yang dimaksud kepribadian?
3.         Apakah moral termasuk dalam perilaku?
4.         Bagaimana memperlajari perilaku moral?
5.         Bagaimana cara untuk mendisiplinkan anak?
Tujuan
1.         Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perilaku
2.         Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kepribadian
3.         Untuk mengetahui moral yang termasuk dalam perilaku
4.         Untuk mengetahui cara mempelajari perilaku
5.         Untuk mengetahui cara mendisiplinkan anak

Landasan Teori
Psikologi memandang perilaku manusia (Human Behavior) sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks. Sikap selalau dikaitkan dengan perilaku yang berada dalam batas kewajaran dan kenormalan yang merupakan respons atau reaksi terhadap stimulus lingkungan sosial.
Psikologi kepribadian adalah termasuk psikologi khusus, yang membahas tentang kehidupan seseorang sebagai pribadi, yang merupakan segi lain daripada segi sosial manusia. Sesuai dengan kedudukannya itu, maka psikologi kepribadian dapat dirumuskan sebagai : psikologi yang khusus membahas kepribadian utuh, artinya yang dipelajari adalah seluruh pribadinya, bukan hanya pikirannya, perasaannya, dan sebagainya, melainkan secara keseluruhannya, sebagai paduan antara kehidupan jasmani dan rohani usia anak di sekolah dasar. Psikologi kepribadian yang berobyek kepada faktor pribadi, secara teoritis, masih dapat berubah. 
Perilaku yang dapat disebut “moralitas yang sesungguhnya” tidak saja sesuai dengan standar sosial melainkan juga dilaksanakan secara sukarela. Ia muncul bersamaan dengan peralihan kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri atas tingkah laku yang diatur dari dalam, yang dissertai perassaan tanggung jawab pribadi untuk tindakan masing-masing. Ia mencakup pemberian pertimbangan primer pada kesejahteraan kelompok dan penempatan keinginan atau keuntungan pribaddi pada tempat kedua. Moralitas yang sesungguhnya jarang ditemukan pada anak, tetapi ia harus muncul selama masa remaja. (Elizabeth B. Hurlock, (Jilid 2) 1978 : 75).
Perkembangan moral mempunyai aspek kecerdasan dan aspek impulsif. Anak harus belajar apa saja yang benar dan yang salah. Selanjutnya, segera setelah mereka cukup besar, mereka harus diberi penjelassan mengapa ini benar dan itu salah. Merka juga harus mempunyai kesempatan untuyk mengambil bagian dalam kegiatan kelompok sehingga mereka dapat belajar mengenai harapan kelompok. Lebih penting lagi, mereka harus mengembangkan keinginan untuk melakukan hal yang benar, bertindak untuk kebaikan bersama menghindari yang salah. Ini dapat dicapai dengan hasil yang paling baik dengan mengaitkan reaksi menyenangkan dengan hal yang salah. Untuk menjamin kemauan bertindak sesuai dengan cara yang diinginkan masyarakat, anak harus menerima persetujuan kelompok.
Metode mempelajari perilaku moral.
1.      Belajar dengan coba ralat
Bila anak belajar untuk bersikap sesuai dengan apa yang diterima secara sosial oleh masyarakat dengan cara coba ralat, mereka melakukannya dengan mencoba suatu pola perilaku untuk melihat apakah itu memenuhi standar sosial dan memperoleh persetujuan sosial. Bila tidak, mereka mencoba metode lain dan seterusnya hingga suatu saat secara kebetulan dan buka karena direncanakan, mereka menemukan metode yang memberi hasil yang diinginkan. Metode ini menghabiskan waktu dan tenaga , dan hasil akhirnya seringkali jauh dari memuaskan.
2.      Pendidikan langsung
Dalam belajar berperilaku sesuai dengan tuntutan masyarakat, anak pertama-tama harus belajar memberi reaksi tertentu yang tepat dalam situasi tertentu. Ini mereka lakukan dengan mematuhi peraturan yang diberikan orang tua dan orang lain yang berwenang. Bila aspek objektif dari berbagai situasi itu serupa, anak mengalihkan pola perilaku yang telah dipelajarinya dalam situasi ke situasi lain yang serupa. Sebaliknya, bila aspek objektif tersebut berbeda, anak akan gagal melihat bagaimana hal yang mereka pelajari dalam satu situasi dapat diterapkan kesituasi yang lain.
3.      Identifikasi
Bila anak mengidentifikasi dengan orang yang dikaguminya, mereka meniru pola perilaku dari orang tersebut, biasanya secara tidak sadar dan tanpa tekanan dari mereka. Identifikasi sebagai sumber belajar perilaku moral semakin penting tatkala anak bertambah besar dan melawan terhadap disiplin dirumah dan disekolah. Memiliki seseorang untuk identifikasi diri akan mengisi kesenjangan dan memberi pegangan yang diperlukan bagi perkembangan perilaku moral. (Elizabeth B. Hurlock, (Jilid 2) 1978 : 81).
Arti perilaku.
1.      Perilaku moral
Perilaku moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. “moral” berasal dari kata latin mores , yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat. Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moral – peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota kelompok.
2.      Perilaku tak bermoral
Perilaku tak bermoral ialah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial. Perilaku demikian tidak disebabkan ketidak acuhan akan harapan sosial melainkan ketidak setujuan dengan standar sosial atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri.
3.      Perilaku amoral
Perilaku amoral atau nonmoral lebih disebabkan ketidakacuhan terhadap harapan kelompok sosial daripada pelanggaran sengaja terhadap standar kelompok. Beberapa di antara perilaku salah anak kecil lebih bersifat amoral daripada tak bermoral. (Elizabeth B. Hurlock, (Jilid 2) 1978 : 74).

Beberapa kebutuhan masa kanak-kanak yang dapat diisi oleh disiplin.
1.    Disiplin memberikan anak rassa aman dengan memberitahukan apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan.
2.    Dengan membantu anak menghindari perasaan bersalah dari rasa malu akibat perilaku yang salah – perasaan yang pasti mengakibatkan rasa tidak bahagia dan penyesuaian yang buruk, disiplin memungkinkan anak hidup menurut standar yang disetujui kelompok sosial dan dengan demikian memperoleh persetujuan sosial.
3.    Dengan disiplin anak belajar bersikap menurut cara yang akan mendatangkan pujian yang akan ditafsirkan anak sebagai tanda kasih sayang dan penerimaan. Hal ini esensial bagi penyesuaian yang berhasil dan kebahagiaan.
4.    Disiplin yang sesuai dengan perkembangan berfungsi, sebagai motivasi pendorog ego yang mendorong anak mencapai apa yang diharapkan darinya.
5.    Disiplin membantu anak mengembangkan hati nurani, “ suara dari dalam” pembimbing dalam pengambilan keputusan dan pengendalian perilaku.
Faktor-faktor yang mempengaruhi cara mendisiplin.
1.      Kesamaan dengan disiplin yang digunakan orang tua
Bila orang tua dan guru merasa bahwa orang tua mereka berhasil mendidik mereka dengan baik, mereka menggunakan teknik yang serupa dalam mendidik anak asuhan mereka, bila mereka merasa teknik yang digunakan orang tua mereka salah, biasanya mereka beralih ke teknik berlawanan.
2.      Pemyesuaian dengan cara yang disetujui kelompok
Semua orang tua dan guru, tetapi terutama mereka yang muda dan tidak berpengalaman, lebih dipengaruhi oleh apa yang anggota kelompok mereka dianggap cara sebagai “terbaik” daripada oleh pendirian mereka sendiri mengenai apa yan terbaik.
3.      Usia orang tua atau guru
Orang tua dan guru yang muda cenderung lebih demokratis dan permisif dibandingkan dengan mereka yang lebih tua. Mereka cenderung mengurangi kendali tatkala anak menjelang masa remaja.
4.      Pendidikan untuk menjadi orang tua atau guru
Orang tua yang telah mendapat kursus dalam mengasuh anak dan lebih mengerti anak dan kebutuhannya lebih menggunakan teknik demokratis dibandingkan orang tua yang tidak mendapat pelatihan demikian.
5.      Jenis kelamin
Wanita pada umumnya lebih mengerti anak dan kebutuhannya dibandingkan pria, dan mereka cenderung kurang otoriter. Hal ini berlaku untuk orang tua dan guru maupun untuk para pengaruh lainnya.
6.      Status sosioekonomi
Orang tua dan guru kelas menengah dan rendah cenderung lebih keras, memaksa, dan kurang toleran dibandingkan mereka yang dari kelas atas, tetapi mereka lebih konsisten. Semakin berpendidikan, semakin mereka menyukai disiplin demokratis.
7.      Konsep mengenai peran orang dewasa
Orang tua yang mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang tua, tradisional mengenai peran orang tua, cenderung lebih otoriter dibandingkan orang tua yang telah menganut konsep yang lebih modern. Guru yang yakin bahwa harus ada tata cara yang kaku dalam kelas lebih banyak menggunakan disiplin otoriter dibandingkan guru yang mempunyai konsep mengajar yang demokratis.
8.      Jenis kelamin anak
Orang tua pada umumnya lebih keras terhadap anak permpuan daripada terhadap anak laki-lakinya. Brgitu pula para guru cenderung lebih keras terhadap anak perempuan.
9.      Usia anak
Disiplin otoriter jauh lebih umum digunakan untuk anak kecil daripada untuk mereka yang lebih besar. Apa pun teknik yang disukai, kebanyakan orang tua dan guru merasa bahwa anak kecil tidak dapat mengerti penjelasan, sehingga mereka memusatkan perhatian mereka pada pengendalian otoriter.
10.  Situasi
Ketakutan dan kecemasan biasanya tidak diganjar hukuman, sedangkan sikap menantang, negativisme, dan agresi kemungkinan lebih mendorong pengendalian yang otoriter.
Fungsi disiplin yang bermanfaat dan tidak bermanfaat.
a.       Fungsi yang bermanfaat
·         Untuk mengajar anak bahwa perilaku tertentu selalu akan diikuti hukuman, namun yang lain akan diikuti pujian.
·         Untuk mengajar anak satu tingkatan penyesuaian yang wajar, tanpa menuntut konformitas yang berlebihan.
·         Untuk membantu anak mengembangkan pengendalian diri dan pengarahan diri sehingga mereka dapat mengembangkan hati nurani untuk membimbing tindakan mereka.
b.      Fungsi yang tidak bermanfaat
·         Untuk menakut-nakuti anak
·         Sebagai pelampiasan agresi orang yang mendisiplin.

Kepribadian menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi konsep anak. Anak-anak memandang kehidupan dengan menggunakan suatu keraangka acuan, di mana mereka memainkan peranan sentral. Mereka yang penyesuaian dirinya baik memandang diri mereka, kemampuan dan hubungan mereka, dengan massyarakat secara realistis  tentang diri mereka dan orang lain.
Pengaruh penyesuaian sosial dan pribadi anak terdapat pengaruhnya terhadap perilaku orang lain. Anak yang berbicara cukup baik dan dengan keyakinan dapat mempengaruhi teman sebayanya, untuk berbuat seperti yang dikehendakinya, lebih baik ketimbang anak yang berbicara ragu-ragu dan dengan perbendaharaan kata terbatas atau tata bahasanya jelek. Salah satu karakteristik anak yang akan menjadi pemimpin adalah kemampuan bicaranya lebih baik ketimbang anggota kelompok lainnya. (Elizabeth B. Hurlock, (Jilid 1) 1978 : 178).
Kepribadian manjadi salah satu faktor yang mempengaruhi rasa takut pada anak-anak. Anak yang emosinya tidak tenteram cenderung lebih mudah merasa takut dibandingkan dengan anak yang tenteram. Anak yang berkepribadian ekstrovert belajar-rasa-takut-lebih-banyak dengan cara menirukan orang lain dibandingkan dengan anak berkepribadian introvert. (Elizabeth B. Hurlock, (Jilid 1)  1978 : 217).
Dampak dukacita terhadap penyesuaian pribadi dan sosial.
·         Dukacita dapat menyebabkan timbulnya  perasaan teraniaya jika anak menafsirkan kehilangan mereka sebagai hukuman terhadap kenakalan mereka.
·         Anak yang merasa dukacita dapat menjadi kesal jika mereka beranggapan bahwa sebetulnya orang tua mereka atau orang lain dapat mencegah terjadinya kehilangan tersebut.
·         Dukacita dapat mendorong anak untuk melarikan diri dari kenyataan dengan cara melamun atau berpikir untuk bunuh diri.
·         Dukacita akan menghambat pencapaian prestasi jika anak-anak sangat merenungkan kehilangan mereka sehingga tidak dapat memusatkan pikiran pada hal-hal yang mereka kerjakan.
·         Dukacita mungkin dapat diperkuat oleh kecemasan dengan semua dampaknya yang merusak.

Pengaruh pengalaman sosial awal.
  1. Perilaku sosial yang menetap
Karena pola perilaku yang dipelajari pada usia dini cenderung menetap, hal ini mempengeruhi perilaku dalam situasi sosial pada usia selanjutnya. Jika pola ini menghasilkan penyesuaian sosial yang baik, hal ini merupakan suatu keuntungan, tetapi jika tidak, hal ini akan menimbulkan kerugian sosial.
  1. Sikap sosial yang menetap
Sekali sikap terbentuk, lebih sukar mengubahnya dibandingkan dengan mengubah perilaku. Oleh karena itu, anak-anak yang lebih memilih interaksi dengan manusia daripada dengan benda akan mengembangkan keterampilan sosial sehingga lebih populer dikalangan teman sebaya dibandingkan dengan anak yang mempunyai sikap kurang baik terhadap aktivitas sosial.
  1. Pengaruh terhadap pola khas perilaku
Pengalaman sosial awal menentukan apakah anak akan menjadi cenderung sosial, tidak sosial atau anti sosial dan apakah anak akan menjadi seorang pemimpin atau seorang pengikut.
  1. Pengaruh terhadap kepribadian
Pengalaman sosial awal meninggalkan kesan pada kepribadian anak, kesan yang mungkin akan menetap sepanjang hidup. Sikap yang positif terhadap diri sendiri lebih sering dijumpai pada orang yang pengalaman sosial awalnya menyenangkan.
Mulanya terbentuk perilaku sosial. Sosialisasi dalam bentuk perilaku yang suka bergaul dimulai pada bulan ketiga, tatkala bayi dapat membedakan antara manusia dan benda di lingkungan mereka dan mereka bereaksi secara berbeda terhadap keduanya. Pada saat itu otot mereka cukup kuat dan terkordinasi sehingga memungkinkan untuk menatap orang atau benda dan mengikuti gerak atau benda tersebut, dan melihat sasarn dengan jelas. (Elizabeth B. Hurlock, (Jilid 1) 1978 : 259).
Pola perilaku dalam situasi sosial pada masa kanak-kanak awal.
1.      Kerjasama
Semakin banyak kesempatan yang mereka miliki untuk melakukan sesuatu bersama-sama, semakin cepat mereka belajar melakukannya dengan cara bekerjasama.
2.      Persaingan
Jika persaingan merupakn dorongan bagi anak-anak untuk berusaha sebaik-baiknya, hal itu akan menambah sosialisasi mereka.
3.      Kemurahan hati
Kemurahan hati sebagaiimana terlihat pada kesediaan untuk berbagi sesuatu dengan anak lain, meingkat dan sikap mementingkan diri sendiri semakin berkurang setelah anak belajr bahwa kemurahan hati menghasilkan penerimaan sosial.
4.      Hasrat akan penerimanan sosial
Jika hasrat untuk diterima kuat, hal itu mendorong anak untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial.


5.      Simpati
Anak kecil tidak mampu berperilaku simpati sampai mereka pernah mengalami situasi yang mirip dengan dukacita. Mereka mengekpresikan simpati dengan berusaha menolong atau menghibur seseorang yang sedang bersedih.
6.      Empati
Empati kemampuan menetapkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati pengalaman orang tersebut.
7.      Ketergantungan
Ketergantungan terhadap orang lain dalam hal bantuan, perhatian, dan kasih sayang mendorong anak untuk berperilaku dalam cara yang diterima secara sosial.
8.      Sikap ramah
Anak kecil memperlihatkan sikap ramah melalui kesediaan melakukan sesuatu untuk atau bersama anak/orang lain dan dengan mengekpresikan kasih sayang kepada mereka.
9.      Sikap tidak mementingkan diri sendiri
Anak yang mempunyai kesempatan dan mendapat dorongan untuk membagi apa yang mereka miliki dan yang tidak terus menerus menjadi pusat perhatian keluarga, belajar memikirkan orang lain dan berbuat untuk orang lain dan bukannya hanya memusatkan perhatian pada kepentingan dan milik mereka sendiri.
10.  Meniru
Dengan meniru seseorang yang diterima baik oleh kelompok sosial, anak-anak mengembangkan sifat yang menambah penerimaan kelompok terhadap diri mereka.
11.  Perilaku kelekatan
Dari landasan yang diletakkan pada masa bayi, yaitu tatakala bayi mengembangkan suatu kelekatan yang hangat dan penuh cinta kasih kepada ibu atau pengganti ibu, anak kecil mengalihkan pola perilaku ini pada anak/orang lain dan belajar membina persahabatan dengan mereka. 

Menurut Soekidjo Notoatmojo (Darmawan, T. (2012)). Usia 6-12 tahun anak sudah memiliki dunia sekolah yang lebih serius walaupun ia tetap seorang anak dengan dunia yang khas, masa ini ditandai dengan perubahan dalam kemampuan dan perilaku. Pertumbuhan dan perkembangan anak membuatnya lebih siap untuk belajar dibanding sebelumnya, anak juga mengembangkan keinginan untuk melakukan berbagai hal dengan baik bahkan bila mungkin enggan sempurna. Karakteristik anak usia sekolah jelas berbeda dengan anak prasekolah sehingga orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda dibandingkan sebelumnya ketika anak masih duduk di Taman Kanak-Kanak. Karena waktu anak sekarang lebih banyak dilewatkan diluar rumah sehingga orang tua khawatir anak tercemar pengaruh yang tidak diinginkan. Perkembangan anak sekolah meliputi perkembangan kognitif dan sosial emosi. (Darmawan, T, 2012).
1.      Perkembangan Kognitif 
Anak usia 10-12 tahun atau praremaja sudah mulai menggunakan logikanya Karen amereka sudah mahir berhitung dan kemampuan ini dapat diterapkan dalam kehidupan setiap hari. Mereka juga mulai bisa diberi pengertian untuk menghemat dengan memberitahukan secara garis besar pemasukan dan pengeluaran keluarga setiap bulan anak juga semakin mamapu merencanakan perilaku yang terorganisir, temasuk menerima rencana atau tujuan beraktivitas dan menghubungkan pengetahuan serta tindakan dalam rencana tesebut. Perkembangan kognitif pada akhir usia sekolah adalah pencapaian prestasi dan sebagian anak juga memiliki motivasi yang amat tinggi untuk mencapai sukses dan berusaha keras untuk mencapainya.
2.      Perkembangan Sosial Emosi 
Akhir usia sekolah anak sudah memiliki kemampuan untuk mengontrol dirinya dalam berempati dan merefleksi dirinya terhadap perilaku dan interaksinya. Menurut piaget anak usia praremaja mulai belajar melihat dunia luar dari kacamata mereka sendiri karena masalah yang dihadapi saat anak duduk dikelas 4,5, dan 6 Sekolah Dasar pada umumnya adalah kesulitan berhubungan dengan orang dewasa selain anggota keluarganya. Persaingan dapat memberi pengaruh positif bagi perkembangan sosial ekonomi anak karena saat anak duduk dikelas 4-6 SD anak telah memandang kegagalan atau keberhasilannya dengan penuh percaya diri.

Kesimpulan
Perilaku dan kepribadian masih memiliki hubungan dan keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Karakteristik anak usia sekolah jelas berbeda dengan anak prasekolah sehingga orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda dibandingkan sebelumnya ketika anak masih duduk di Taman Kanak-Kanak. Karena waktu anak sekarang lebih banyak dilewatkan diluar rumah sehingga orang tua khawatir anak tercemar pengaruh yang tidak diinginkan.


DAFTAR PUSTAKA

Sujanto, Agus (2009). Psikologi Kepribadian. Jakarta : Bumi Aksara.
Saifuddin (2005). Sikap Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Hurlock, Elizabeth B (Jilid 1). Psikologi Kependidikan. Jakarta : Erlangga
Hurlock, Elizabeth B (Jilid 2). Psikologi Kependidikan. Jakarta : Erlangga
Darmawan, T. (2012). Konsep Psikologi. [Online]. Tersedia : http://tiya-darmawan.blogspot.com/2012/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html.  [30 Oktober 2014]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar